Bengkayang, Kalbar- Polemik terkait kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Bengkayang akhirnya ditanggapi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Isu yang berkembang di masyarakat mengenai kenaikan pajak hingga 579 persen dinilai menimbulkan keresahan, sehingga Bapenda merasa perlu memberikan klarifikasi resmi.
Dalam surat undangan resmi bernomor 900.1.13.1/7/BAPENDA-C tertanggal 23 Agustus 2025, Bapenda mengundang wartawan compasnews.com untuk menghadiri rapat klarifikasi dan konfirmasi pada Senin, 25 Agustus 2025 di ruang rapat Kepala Bapenda Bengkayang.
Surat tersebut diteken langsung oleh Kepala Bapenda Bengkayang, Yohanes Atet, S.Sos., M.Si., yang menegaskan bahwa, pemberitaan tentang kenaikan PBB-P2 hingga 579 persen dianggap perlu diluruskan. Menurut Bapenda, yang terjadi bukanlah kenaikan tarif PBB-P2, melainkan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sesuai aturan yang berlaku.
> “Kami tidak menaikkan tarif PBB-P2, melainkan melakukan penyesuaian NJOP sesuai regulasi. Penyesuaian ini sering dipersepsikan masyarakat sebagai kenaikan pajak yang tinggi,” bunyi penjelasan dalam undangan tersebut.
Meski begitu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat memang menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dengan nilai PBB-P2 yang melonjak signifikan dibanding tahun sebelumnya. Hal ini yang kemudian memunculkan berbagai keluhan warga, bahkan dugaan adanya penyalahgunaan regulasi.
Bapenda menilai pemberitaan mengenai angka kenaikan 200 hingga 579 persen telah menggiring opini publik yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.Karena itu, agenda klarifikasi pada 25 Agustus 2025 diharapkan menjadi forum resmi untuk menjelaskan duduk perkara sekaligus mengedukasi publik.
Isu ini pun semakin menjadi perhatian karena masyarakat menuntut keterbukaan pemerintah daerah. Tidak sedikit pihak mendorong agar DPRD Kabupaten Bengkayang melakukan fungsi pengawasan terkait polemik ini, mengingat kenaikan pajak yang dirasakan masyarakat cukup membebani.
Catatan Redaksi
Jika benar yang terjadi hanyalah “penyesuaian NJOP”, maka pemerintah daerah seharusnya tidak menutup mata terhadap fakta bahwa masyarakat menerima beban pajak yang melonjak ratusan persen. Sebab, bagi warga, apapun istilah yang digunakan, kenaikan tetaplah kenaikan.
Transparansi perhitungan NJOP, keterlibatan DPRD, serta kajian sosial-ekonomi yang mendalam menjadi kunci agar kebijakan fiskal tidak dianggap sebagai pembodohan publik. Karena pada akhirnya, pajak semestinya menjadi alat pembangunan, bukan alat yang menjerat rakyat di tengah kondisi ekonomi yang sulit.(red)
Sumber : Berita-compasnews.com