Karawang, mnctvano.com – Dalam era demokrasi modern, kebebasan pers seringkali dianggap sebagai salah satu indikator utama kesehatan sebuah negara. Pers yang bebas memainkan peran vital sebagai pengawas kekuasaan, pilar kebebasan berpendapat, dan alat untuk memberikan informasi yang benar kepada publik. Sejarah telah membuktikan bahwa wartawan bukanlah musuh masyarakat atau pejabat, melainkan pengawal demokrasi yang harus dilindungi. Hal ini ditegaskan oleh berbagai pakar jurnalisme, termasuk Profesor Andreas Harsono, seorang pakar jurnalistik dan aktivis hak asasi manusia yang menyoroti peran pers dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Sejarah Kebebasan Pers dan Peran Wartawan
Secara historis, kebebasan pers muncul sebagai respons terhadap kekuasaan absolut yang cenderung mengekang kebebasan berekspresi dan hak untuk berbicara. Di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, pers menjadi sarana bagi para intelektual untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah dan kebijakan publik. Salah satu titik balik dalam sejarah kebebasan pers adalah pengakuan hak warga untuk berbicara dan menulis secara bebas tanpa campur tangan pemerintah, seperti yang tercermin dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia di Prancis (1789) dan Konstitusi Amerika Serikat.
Di Indonesia, peran pers sangat penting dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan sosial. Tirto Adhi Soerjo, yang sering disebut sebagai Bapak Pers Nasional, adalah salah satu tokoh yang menggunakan kekuatan media untuk menyuarakan semangat kebangsaan dan perlawanan terhadap penjajahan. Namun, perjuangan kebebasan pers tidak pernah mudah. Pada masa Orde Baru, pers berada di bawah kontrol ketat pemerintah melalui Kementerian Penerangan, yang memaksa wartawan untuk tunduk pada sensor. Pengkritik pemerintah, termasuk majalah “Tempo” , sering kali dibungkam, menunjukkan betapa kuatnya kontrol negara atas informasi.
Barulah setelah Reformasi 1998, Indonesia mengalami era kebangkitan kebebasan pers dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin hak pers untuk bekerja secara bebas dan independen.
Wartawan Bukan Musuh, Mereka adalah Pengawal Demokrasi
Menurut Andreas Harsono, wartawan berperan sebagai pengawal demokrasi yang memiliki tanggung jawab untuk mengawasi kekuasaan dan menyampaikan informasi yang benar kepada publik. “Wartawan bukanlah musuh negara atau masyarakat. Mereka adalah pengawal demokrasi yang sangat penting. Jika pers dibungkam, maka suara rakyat juga ikut hilang,” ujar Harsono dalam sebuah wawancara. Ia menegaskan bahwa pers yang bebas dan bertanggung jawab adalah elemen yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan hak-hak masyarakat.
Sejarah telah menunjukkan betapa pentingnya peran pers dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Di Amerika Serikat, skandal Watergate yang diungkap oleh wartawan Washington Post, Carl Bernstein dan Bob Woodward, mengungkap penyalahgunaan kekuasaan di dalam pemerintahan Nixon, yang akhirnya memaksa presiden tersebut untuk mengundurkan diri. Ini adalah contoh jelas bagaimana pers yang independen mampu membongkar korupsi di tingkat tertinggi dan memperjuangkan kepentingan publik.
Di Indonesia, kasus majalah “Tempo” pada era Orde Baru menjadi simbol perjuangan kebebasan pers melawan otoritarianisme. Pembredelan majalah ini oleh pemerintah Soeharto menunjukkan bahwa pers yang kritis terhadap kekuasaan sering kali dipandang sebagai ancaman, bukan mitra dalam membangun demokrasi yang sehat.
Tantangan Kebebasan Pers di Era Digital
Namun, kebebasan pers di era digital tidak berarti tanpa tantangan. Menurut pakar komunikasi digital, Dr. Ade Armando, tantangan baru muncul dengan maraknya disinformasi dan hoaks yang beredar di media sosial. Di satu sisi, era digital memberikan kebebasan lebih besar bagi masyarakat untuk mengakses informasi. Di sisi lain, informasi yang salah dapat dengan mudah tersebar dan mempengaruhi opini publik. Oleh karena itu, peran wartawan semakin penting dalam era ini, bukan hanya sebagai penyampai berita, tetapi juga sebagai penjamin kredibilitas informasi.
Di Indonesia, meskipun kebebasan pers telah diakui secara hukum, ancaman terhadap wartawan masih ada. Banyak wartawan yang mengalami intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi, terutama ketika mereka meliput kasus korupsi, pelanggaran HAM, atau isu-isu sensitif lainnya. Laporan “Reporters Without Borders” menempatkan Indonesia dalam posisi yang masih harus memperbaiki iklim kebebasan pers, mengingat beberapa undang-undang, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sering digunakan untuk menjerat jurnalis atau aktivis yang mengkritik pemerintah.
Menurut Andreas Harsono, “Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana kita bisa melindungi kebebasan pers di tengah tekanan politik dan ancaman hukum yang kerap digunakan untuk membungkam wartawan.” Dia menekankan pentingnya solidaritas di kalangan jurnalis serta dukungan dari masyarakat untuk memastikan kebebasan pers tetap terjaga.
Wartawan sebagai Mitra, Bukan Musuh
Dalam masyarakat demokratis, wartawan seharusnya dipandang sebagai mitra bagi pemerintah dan masyarakat, bukan sebagai musuh. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memainkan peran penting dalam menciptakan transparansi, mengawasi kekuasaan, dan memperjuangkan kepentingan publik. Sebagaimana ditegaskan oleh banyak pakar jurnalistik, wartawan adalah salah satu pilar demokrasi yang menjaga agar suara masyarakat tetap terdengar.
Penting bagi pejabat dan masyarakat untuk memahami bahwa kritik yang disampaikan oleh pers bukanlah ancaman, melainkan bagian dari proses demokrasi. Dengan demikian, wartawan bukanlah musuh, tetapi sekutu dalam menciptakan masyarakat yang lebih transparan, adil, dan demokratis.
(Kuswadi : Korlipnas Mnctvano.com)