Tarif Sim A Disatpas Polres Deli Serdang Berbandrol Rp. 800.000

banner 468x60

Deli Serdang, Sumatera Utara, mnctvano.com,- Sudah berulang kali viral, namun selalu berujung pada keheningan. Dugaan pungutan liar dalam penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Satpas Satlantas Polresta Deli Serdang kembali mencuat. Video dan testimoni warga berseliweran di media sosial, tapi entah mengapa, tak satu pun tindakan tegas muncul dari jajaran kepolisian.

Pertanyaannya sederhana namun menampar nurani: uang Rp800 ribu yang dipungut dari warga untuk satu SIM A itu, sebenarnya mengalir ke mana, Pak Kapolres?

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Seorang pemuda, inisial P, warga Narorambe, Perumnas Putri Deli, menjadi saksi nyata bobroknya pelayanan publik di balik tembok Satpas. Ia mengaku dipalak secara halus ketika hendak mengurus SIM A.

> “Saya hanya ingin mengurus SIM sesuai prosedur, tapi kenapa harus sampai Rp800.000? Ini sangat memberatkan,” ujarnya lirih, Senin (9/7/2025).

Padahal, aturan sudah sangat jelas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2020 tentang PNBP Polri, tarif resmi penerbitan SIM A hanya Rp100.000. Tambahkan biaya tes kesehatan dan psikologi, totalnya tak lebih dari Rp200.000.
Artinya, ada selisih Rp600.000 yang tak jelas juntrungannya. Uang siapa? Masuk ke mana?

Yang paling menyakitkan bukan hanya soal uang, tapi sikap diam yang mencolok. Dari Kapolresta Deli Serdang, Dirlantas Polda Sumut, hingga Kapolda Sumut, semua tampak memilih bungkam.
Seolah kasus pungli di tubuh sendiri hanyalah riak kecil yang tak pantas ditanggapi.
Padahal, rakyat sedang menjerit karena merasa diperas oleh mereka yang seharusnya melindungi.

Di tengah gencarnya Polri menggembar-gemborkan slogan “Presisi: Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan”, justru praktik seperti ini menjadi tamparan keras.
Bagaimana masyarakat bisa percaya pada slogan, jika yang terjadi di lapangan justru kontradiktif?
Transparansi hanya jadi jargon kosong, dan keadilan seolah punya harga.

Fenomena ini bukan lagi sekadar perkara uang. Ini perkara integritas dan moralitas.
Ketika rakyat kecil harus membayar enam kali lipat dari tarif resmi hanya untuk sebuah SIM, maka yang dirusak bukan hanya dompet, tapi rasa keadilan dan kepercayaan publik.
Inilah bentuk nyata pengkhianatan terhadap sumpah dan seragam yang mereka kenakan.

Dan bila benar pungli ini terjadi tanpa sepengetahuan atasan, maka pengawasan internal Polri patut dipertanyakan.
Namun jika atasan tahu tapi memilih tutup mata, maka pungli ini sudah berubah menjadi sistemik — bukan sekadar oknum, tapi budaya.

Kasus ini tidak boleh mati di ruang redaksi.
Masyarakat dan awak media mendesak Kapolda Sumut Irjen Pol Whisnu Hermawan untuk turun tangan langsung, mengusut tuntas praktik pungli SIM A di Satpas Deli Serdang.
Telusuri aliran uang, aktor di lapangan, hingga siapa yang duduk manis menikmati setoran.

Polri tidak bisa terus berlindung di balik kata “oknum”.
Jika lembaga penegak hukum sendiri melanggar hukum, kepada siapa rakyat akan mencari keadilan?

Setiap rupiah yang dipungut di luar aturan adalah dosa moral terhadap publik.
Ia bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat.
Dan setiap kali pungli dibiarkan, satu per satu kepercayaan itu tergerus, hingga seragam cokelat itu kehilangan makna dan wibawa.

Karena sejatinya, hukum tak akan pernah tegak jika penegaknya sendiri yang melanggarnya.

(Team Tim)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *