Lebuay, mnctvano.com – Air Naningan, Tanggamus- Di tengah suburnya tanah yang tak pernah berhenti memberi berkah, sebuah ironi pahit menyelimuti Desa Lebuay, Kabupaten Tanggamus. Desa yang semestinya menikmati kemerdekaan penuh sejak tahun 1960 ini, kini seolah terasing dan terabaikan, ditinggalkan oleh perhatian pemerintah yang seharusnya peduli terhadap nasib rakyatnya. Jalan sepanjang 4.850 meter yang menghubungkan lima dusun—Bringin Empat, Limbangan Baru, Kuningan Sari, Balai Rejo, dan Talang Jakarta/Kepayang—sudah lama menjadi luka terbuka yang tak kunjung dirawat.
Dulu, jalan ini hanya berdebu, namun kini telah menjadi kubangan licin dan berlumpur setiap kali hujan mengguyur. Jalan yang tak pernah tersentuh aspal ini lebih menyerupai lorong penuh jebakan, menghalangi setiap upaya warga untuk memperjuangkan hidup melalui hasil bumi mereka.
Jeritan Pemimpin dan Warga: Harapan yang Kian Memudar
Kepala Pekon Datar Lebuay, Suhartono, mengungkapkan kepedihan hatinya. “Kami sudah berulang kali berjuang, tapi perhatian dari pemerintah seperti tak pernah sampai ke sini. Jalan ini adalah urat nadi ekonomi warga. Saat hujan, jalan menjadi sangat licin, dan banyak petani yang kecelakaan saat mengangkut hasil bumi,” ujar Suhartono, suaranya dipenuhi harap namun terdengar semakin redup, seakan pesimis untuk mengharapkan perubahan.
Ahmad Toyeb, seorang tokoh masyarakat setempat, juga merasakan getirnya perjuangan ini. Baginya, jalan yang layak adalah hak dasar yang harus diperjuangkan. “Kami sangat butuh perhatian pemerintah. Hasil bumi kami melimpah, tapi apa gunanya jika jalannya seperti ini? Setiap musim hujan, ketakutan akan kerugian dan keselamatan selalu menghantui kami,” kata Ahmad Toyeb dengan suara yang penuh kekecewaan.
Ironi yang Menyayat: Kemerdekaan yang Belum Sempurna
Apa arti kemerdekaan jika jalan menuju kesejahteraan tertutup oleh lumpur dan lubang? Masyarakat Desa Datar Lebuay seakan hidup dalam sebuah ironi yang menyakitkan—mereka memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun akses untuk memperjuangkannya begitu sulit. Tahun demi tahun berlalu, janji-janji perbaikan jalan hanya menjadi angin lalu yang tak pernah terwujud.
Sementara pemerintah berbicara lantang tentang pembangunan dan kemajuan, di sini, di jalan-jalan kecil yang menghubungkan dusun-dusun ini, harapan masyarakat mulai pudar. Mereka hanya bisa bertanya-tanya, “Sampai kapan jalan ini akan menjadi saksi bisu penderitaan kami?”
Bagi Ujang Mustohir dan warga Lebuay lainnya, perjuangan untuk mendapatkan perhatian pemerintah bukan sekadar permintaan biasa, tetapi sebuah jeritan dari hati yang lelah namun enggan menyerah. Mereka membutuhkan solusi nyata—bukan sekadar retorika pembangunan yang hanya terdengar di pusat, jauh dari hiruk-pikuk perjuangan hidup di pelosok desa.( Yudi)