Pontianak, Kalimantan Barat, mnctvano.com,- Kasus penyekapan dan intimidasi terhadap dua wartawan media daring di Kecamatan Belitang Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, resmi dilaporkan ke aparat penegak hukum. Peristiwa yang terjadi pada Jumat, 27 Juni 2025 tersebut menyulut keprihatinan luas dari insan pers dan pegiat hak asasi manusia, karena dinilai sebagai bentuk pembungkaman kebebasan pers dan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS. sabtu 05 juli 2025
Pemimpin Redaksi Media Detik Kalbar, Sy. Mochtar, menegaskan bahwa kedua wartawan mereka, berinisial R dan S, menjadi korban intimidasi terstruktur saat tengah menjalankan tugas peliputan investigatif terhadap aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Sungai Ayak.
Surat pernyataan yang mencatut nama media dan diteken oleh wartawan kami dibuat dalam kondisi tekanan, intimidasi, bahkan penyekapan. Itu sama sekali tidak sah secara hukum. Kami nyatakan surat tersebut batal demi hukum dan harus segera diralat secara terbuka,” tegas Mochtar dalam keterangan persnya di Pontianak, Sabtu (5/7).
Menurutnya, isi surat pernyataan yang diteken secara paksa tersebut mencantumkan empat poin yang sangat mengkhawatirkan dan diduga kuat bertujuan membungkam kerja jurnalistik:
1.Larangan memberitakan hal negatif tentang Kecamatan Belitang Hilir;
2 Pelarangan wartawan masuk wilayah tersebut;
3.Tuduhan pemerasan sepihak terhadap wartawan;
4.Tanggung jawab mutlak media Detik Kalbar atas segala bentuk pemberitaan.
“Ini adalah bentuk terang-terangan dari intimidasi dan intervensi terhadap kebebasan pers, bahkan ironisnya surat itu disusun dan dibacakan langsung oleh jajaran Polsek. Ada apa dengan Polsek Belitang Hilir? Ini harus dijawab secara institusional oleh Kapolres dan Kapolda Kalbar,” tambah Mochtar.
Ia merujuk Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenakan pidana penjara hingga 2 tahun atau denda Rp500 juta.
Ketua DPD Yayasan Lembaga Bantuan Hukum LMRRI Kalimantan Barat, Yayat Darmawi, SE, SH, MH, turut mengecam keras tindakan pencatutan nama institusi pers dalam dokumen sepihak tersebut.
Pencantuman nama media tanpa seizin Pimpinan Redaksi adalah cacat hukum. Pelaku bisa dipidana karena telah mencatut nama lembaga secara tidak sah, apalagi dalam konteks tekanan dan intimidasi. Ini bisa masuk ranah pidana umum dan perdata sekaligus,” ujar Yayat.
Peristiwa ini memicu reaksi keras dari berbagai organisasi jurnalis, aktivis sipil, dan lembaga bantuan hukum yang menilai kejadian ini mencerminkan lemahnya perlindungan negara terhadap jurnalis, terutama saat meliput isu rawan seperti pertambangan ilegal, mafia BBM subsidi, dan korupsi sumber daya alam.
Mereka mendesak Kapolda Kalimantan Barat dan Kapolri untuk:
Mengusut tuntas pelaku intimidasi, penyekapan, dan perampasan alat kerja wartawan;
Menindak aparat kepolisian yang terlibat atau membiarkan kejadian tersebut;
Menjamin pemulihan dan perlindungan hukum bagi korban.
Ini alarm keras bagi demokrasi. Wartawan yang dibungkam sama dengan melemahkan fungsi kontrol sosial. Negara harus hadir untuk melindungi profesi jurnalistik, bukan membiarkannya menjadi korban kekuasaan lokal,” pungkas Mochtar.
Sumber : Sy. Mochtar
(Jono Darsono)